Kamis, 19 Maret 2009

Profil diri

Aku dilahirkan pada tanggal 30 bulan january tahun 1989 dengan selamat, Dengan nama Jenny Christine Pakpahan. Selama aku bayi aku dipenuhi dengan rasa kasih sayang, diberi ajupan gizi yang banyak sehingga aku menjadi gendut dan tentunya chubby.
Pada waktu ku balita aku selalu diajarkan bagaimana cara membaca dan berhitung, dan aku selalu merayakan ulang tahun dengan mengundang teman-teman yang tidak aku kenal, Tapi menyenangkan juga si.
Berlanjut umur ku yang ke 10 tahun aku mulai menginjak sekolah dasar, dimana aku belum mengerti apa-apa. Dari pertemanan dan malas-malasan. Dan aku belajar yang tidak aku mengerti tentang itu semua. Sangat disayangkan aku tidak mendapatkan teman. Aku bercita-cita ingin menjadi pengusaha sukses, jadi dari kecil aku suka menjual barang-barang milik aku. Banyak si yang membelinya, itu pun juga malu-malu dan sangat sedih.
Setelah aku lulus dari SD, aku lanjut ke SLTP, dimana aku beranjak remaja. Selama itu aku mengalami perubahan yang begitu banyak, dari mulai pergaulan dan belajar. Pergaulannya yang positif pastinya, banyak teman-teman dari sifat yang baik sampai jahat. Tetapi dari situ aku mengambil baiknya saja. Dalam hal belajar aku mungkin tidak tergolong pintar, tetapi aku senang selalu mendapatkan peringkat kelas.
Aku senang sekali karena aku lulus dari SLTP lanjut ke SMAN, tadinya aku tidak suka lanjut ke SMA aku lebih suka ke SMK, tetapi karena orangtua ku memaksa, yah aku mengikuti saja. Selama aku di SMA aku tidak mendapatkan apa-apa. Mulai dari teman, belajar yang menurun sampai mempunyai cowo pun tidak ada. Teman, aku tidak begitu akrab karena mereka semua pada jahat dengan aku, mulai dari mentertawakan sampai menjauhkan aku, Aku tidak tau salah ku apa. Dalam hal belajar menurun dratis sekali, tetapi tidak sampai tinggal kelas, mungkin itu karena faktor pemikiran tidak ada teman yang dapat mendukung ku. Dalam hal cowo, satu pun cowo yang ada di sekolah itu tidak ada yang begitu menarik. Hahhh, tetapi itu semua kenangan yang sangat menarik buat aku kenang. Aku senang lulus dari SMA itu.
Tadinya aku tidak mau melanjutkan lagi ke perguruan tinggi, tetapi tetap ini karena paksaan orangtua, dan aku mengikutinya. Aku disuru kuliah di perguruan Negeri Jakarta, tetapi aku tidak berminat, entah mengapa mamah ku selalu memaksa sampai lewat jalur khusus. Dan aku lolos, dengan mengambil fakultas ekonomi jurusan tata niaga itupun juga sesuai dengan cita-cita aku menjadi pengusaha sukses. Tetapi aku senang menjalani ini semua, bakhan aku mendapatkan teman-teman yang sangat baik sekali pada ku, jalan barang sampai curhat barang.

PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA

Kita mulai pembahasan ini dengan terlebih dahulu menginsafi bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah karunia Ilahi kepada kita sebagai ujian tatau percobaan (fitnah),apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan mendidik anak tersebut dengan baik atau tidak. Sebab tidak perlu diragukan lagi bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagiaan lahir dan duniawi.
Karena “harta dan anak adalah hiasan hidup duniawi,” maka juga “Sesungguhnya hidup duniawi itu adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga dan saling berlomba banyak dalam harta dan anak..” Jadi,sebgaai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinannya dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu, kalau kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pesan dan amanat Allah.
Oleh karena itu pembicaraan tentang pendidikan agama dalam rumah tangga—sebagai peringatan, terpaksa akita mulai dengan sikap skeptis dan ragu. Yaitu sikap mempertanyakan, benarkah pendidikan agama dalam rumah tangga mempunyai peran positif? Dapatkah hal ini dibuktikan dengan menunjukkan contoh-contoh nyata, dengan mengaitkannya dengan variabel-variabel yang secara lahiriah tentunya mendukung anggapan positif itu? Di sinilah sketipsisme tersebut bermula. Sebab jika variable orang-tua kita ambil sebagai unsur kaitan yang penting, yang kualitas atau kapasitas orang-tua itu—seperti kualitas dan kapasitasnya sebagai tokoh keagamaan (kiai, ulama, guru agama, pemimpin agama, tokoh politik agama, tokoh pendidikan formal agama, pemimpin organisasi keagamaan, dan seterusnya)—secara lahiriah tentu mendorong kita kepada kesimpulan tentang peran positif bagi pendidikan keagamaan anak-anaknya. Tapi tentunya dalam banyak hal kita akan segera menjawab: belum tentu! Dan itulah memang yang tidak jarang terjadi. Bukankah kerap terjadi, bahwa seorang tokoh agama (dalam berbagai kualitas dan kapasitas tersebut tadi), anak-anaknya justru tumbuh menjadi remaja dengan kepribadian tidak terpujil?
Agama dan Pendidikan Agama
Berdasarkan hal-hal diatas, barangkali kita harus merenungkan banyak hal tentang pendidikan agama dalam rumah tangga ini. Pertama-tama ialah perenungan tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Kedua, tentang apa yang dimaksudkan pendidikan agama? Dan,ketiga, apa yang dimaksudkan dengan pendidikan agama dalam rumah tangga?
Renungan pertama untuk sementara orang barangkali masih mengejutkan. Sebab, masihkah harus ada pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Bukankah agama bagi semua orang sudah begitu jelas, sehingga mestinya tidak perlu lagi perenungan akan apa maksudnya? Tapi bagi banyak orang renungan ini sudah sering terdengar. Misalnya, di antara para muballigh dan tokoh agama ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti salat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggungjawab pribadi di Hari Kemudian. Inilah makna pernyataan dalam do’a pembukaan (iftitah) salat kita, bahwa salat kita itu sendiri, juga darmabakti kita, hidup kita dan mati kita, semua adalah untuk atau milik Allah, Seru sekalian alam. Inilah pernyataan tentang makna dan tujuan hidup yang diperintahkan Tuhan untuk kita kemukakan setiap saat.
Katakan (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya Tuhanku telah memberi petunjuk kepadaku ke arah jalan yang lurus, berupa agama yang benar, yaitu agama Ibrahim yang hanif, dan dia itu tidak termasuk kaum yang musyrik. “Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada mempunyai sekutu. Untuk semua itulah aku diperintahkan,dan aku adalah yang pertama dari golongan yang pasrah (Muslim).(QS. Al-An’am: 161-162)
Karena itu renungan tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan agama muncul secara logis, sebagai kelanjutan dari renungan tentang apa itu agama. Karena agama adalah seperti yang dimaksud diatas, maka agama tidak terbatas hanya kepada pengajaran tentang ritus-ritus dan segi-segi formalitasnya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran terhadap pentingnya ritus-ritus dan segi-segi formaliatik agama, tidak pula pengingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi-segi formal itu diajarkan kepada anak. Semua orang telah menyadari dan mengakui hal itu. Sebab ritus dan formalitas merupakan—atau ibarat—“bingkai” bagi agama atau “kerangka” bagi bangunan keagamaan. Karena itu setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan rukun” keabsahannya.
Tetapi sebagai “bingkai” atau “kerangka” ritus dan formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas—yang dalam hal ini terwujud dalam apa yang biasa disebut “Rukun Islam”—baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah). Ini dapat kita simpulkan dari penegasan dalam Kitab Suci bahwa orang yang tidak memiliki rasa kemanuasiaan, seperti sikap tidak peduli kepada nasib anak yatim dan tidak pernah melibatkan diri dalam perjuangan mengangkat derajat orang miskin, adalah palsu dalam beragama. Orang itu boleh jadi melakukan salat, namun salatnya tidak berpengaruh kepada pendidikan budi pekertinya, dengan indikasi ia suka pamrih dan bergaya hidup mementingkan diri. Maka ia dikutuk oleh Allah:
Tahukah engkau (hai Muhammad),sipa yang mendustakan agama?
Yaitu yang mengabaikan anak yatim, dan yang tidak dengan tegas membela nasib orang miskin.
Maka celakalah mereka yang sembahyang itu!
Yaitu mereka yang melupakan sembahyang mereka sendiri.
Mereka yang suka pamrih,
Dan yang enggan menolong barang sedikit.(QS. Al-Maun: 1-7)
Maka pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidak seluruhnya salah—jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan—namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian itu harus disempurnakan. Maka dalam pengertiannya yang tidak atau belum sempurna itulah kita mendapatkan gejala-gejala yang tidak wajar berkenaan dengan pendidikan agama: seorang tokoh agama misalnya, justru menumbuhkan dan membesarkan anak-anaknya menjadi nakal. Padahal Nabi s.a.w. menegaskan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal, Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi” (Innama bu’its-tu li-utammima makarim-al-akhlaq)
Kalau kita pahami bahwa agama akhirnya menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang anak tokoh keagamaan menjadi anak tidak berbudi adalah suatu ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya, dan itulah barangkali wujud bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan dalam firman Allah:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya harta-bendamu dan anak-anakmu adalah ujian (fitnah) (dari Tuhan),dan sedangkan Allah sesungguhnya menyediakan pahala yang paling agung.(QS. Al-Anfal: 28)
Karena itu peran orang-tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan disini yang ditekankan memang pendidikan oleh orang-tua, bukan pengajaran. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, berujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca al-Qur’an dan mengerjakan ritus-ritus
Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama pada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif—meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak dirumah tangga, melalui orang-tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sendiri.

Pendidikan Agama dan Penghayatan Agama
JIka pendidikan agama dalam rumah tangga itu memang penting, maka—berdasarkan renungan-renungan di atas—ia tidak sepenuhnya sama dengan yang secara umum difahami dan dimaksudkan orang. Pertama-tama, pendidikan agama dalam rumah tangga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pengajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru agama, dalam rumah tanggapun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru mengaji yang sekarang mulai popular dalam masyarakat kita. Dan meskipun ada guru mengaji sekaligus juga dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Jadi guru gaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu bukan pendidikan agama.
Maka jika yang dimaksudkan adalah pendidikan agama dalam rumah tangga, jelas melibatkan peran orang tua serta keseluruhan anggota rumah tangga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang notebene dapat diwakilkan kepada orang lain tadi). Peran orang tua adalah peran tingkah laku, atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh seperti dipaparkan di atas. Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah,” Lisanul Haal afshahu min lisanul maqal/Tindakan nyata itu lebih efektif daripada ucapan lisan).
Jadi jelas pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih banyak daripada pengajaran verbal. Dengan meminjam istilah yang popular di masyarakat: “pendidikan dengan bahasa perbuatan untuk anak itu lebih efetif dan lebih manta daripada pendidikan dengan bahasa lisan”. Karena itu yang pentiig ialah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.

Revitalisasi Pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.
Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.
Kebijakan DiknasMerujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.
Revitalisasi PesantrenUntuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.
Ikhtisar- Pesantren berpengalaman dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat.- Pemerintah harus lebih memedulikan pesantren demi kemaslahatan umat.

Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jakarta
– Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.
Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren. Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam. Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--
Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.
Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.
Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.
Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.
Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.
Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.
Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.
Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.
“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.
Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.
Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).
Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.
Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.
Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.
Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.
Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.
Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.
Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.
Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.
Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.
Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.
Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.
Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.
Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.
Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.
Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”
Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”
Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”
Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.
Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.
Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”
Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.
Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.
Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.
Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”
Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.
“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.
Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.

Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Usia Dini

KabarIndonesia - Resolusi 47/237 Sidang Umum PBB pada tanggal 20 September 1993, memutuskan bahwa setiap tanggal 15 Mei tiap tahunnya akan diperingati sebagai Hari Keluarga Internasional. Setiap tahunnya, dipilih tema-tema yang menjadi fokus kampanye dan aksi pada tahun itu. Tema untuk tahun 2008 ini adalah ” Ayah dan Keluarga: Tanggung Jawab dan Tantangan”. Sebuah tema yang unik dan benar-benar menantang, karena biasanya pembahasan tentang keluarga lebih menitikberatkan pada ibu dan anak . Menurut Eric Olson dari Divisi Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, tema ini dipilih dengan penekanan pada peran ayah dalam keluarga dan pentingnya tanggung jawab dan tantangan yang menyertainya. Ayah dan Keluarga Saat ini, keluarga-keluarga di dunia sedang mengalami banyak perubahan, mulai perubahan dari kehidupan berkeluarga besar menjadi keluarga inti, meningkatnya jumlah wanita (termasuk ibu) dalam dunia kerja, meningkatnya angka cerai-kawin, meningkatnya jumlah kelahiran tanpa pernikahan, meningkatnya jumlah wanita sebagai orang tua tunggal dan kepala rumah tangga, serta jumlah ayah yang tinggal jauh dari keluarga. Fenomena-fenomena tersebut, menurunkan peran ayah dalam keluarga sebagai pendidik, kepala rumah tangga, dan pencari nafkah dalam keluarga. Meningkatnya angka perceraian, membuat banyak wanita terpaksa mengambil peran ayah bagi anak-anaknya. Efek yang terjadi biasanya menyangkut lemahnya capaian kebutuhan finansial bagi keluarga, yang seringkali berpengaruh pada perkembangan anak bahkan tidak jarang berujung pada terlibatnya anak pada kriminalitas. Sisi lain adalah meningkatnya jumlah ayah yang menjadi pekerja migran, seperti yang dialami para TKI kita di Taiwan, Malaysia atau Saudi Arabia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat para ayah terpaksa bekerja jauh dari keluarga dalam waktu lama. Selain efek terhadap perkembangan jiwa anak, tidak jarang fenomena ini membuat banyak masalah dalam keluarga. Banyak diantara para ayah pekerja migran ini berperilaku seks bebas, sehingga ini juga meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Hal ini menjadi hal yang juga dipikirkan oleh UNFPA (United Nations Population Fund) yang memilih tema “Ayah Pekerja” pada peringatan Hari Populasi Dunia tahun 2007 lalu, dengan mengkampanyekan tanggung jawab ayah selain bekerja bagi keluarga adalah antara lain mendukung istri hamil, merawat bayi-bayinya, mendidik anak termasuk anak perempuan dan berbagi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Tidak bisa dipungkiri begitu besar peran ayah dalam keluarga. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengembalikan peran ayah dalam keluarga ini, dengan berbagai kebijakan yang mendukung hal tersebut. Pendidikan berkeluarga bagi pasangan pra nikah, pendidikan bagi orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya (parents as a teacher/PAT), bahkan usaha untuk menciptakan peluang kerja yang kondusif di dalam negeri adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh negara. Ayah dan ASI Salah satu hal sederhana yang sering terlupakan adalah penjagaan ayah terhadap istrinya yang berstatus sebagai ibu hamil (bumil) dan ibu menyusui (busui). Perawatan janin selama kehamilan bukan saja tanggung jawab istri, namun juga suami. Begitupun tanggung jawab untuk memberikan air susu ibu eksklusif (ASIX) bagi bayinya adalah juga tanggung jawab ayah. Mendapatkan ASIX adalah hak anak, dan dengan begitu besarnya manfaat ASIX, yang tidak bisa tergantikan oleh susu formula (sufor), maka penjagaan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadi penting. Komitmen ayah dan ibu menjadi penting untuk dibuat. Termasuk momen yang justru sering terlewatkan adalah pemberian ASIX yang sarat kolostrum pada bayi yang baru lahir (newborn baby). Masih terdapat fenomena pemberian sufor oleh dokter/bidan/perawat kepada bayi baru lahir, padahal sang ibu mampu untuk memberikan ASI-nya. Ketidakpahaman dan kadang juga karena motivasi bisnis praktisi kesehatan, sering memaksa bayi baru lahir mengkonsumsi sufor, padahal bisa jadi sang orang tua bayi sudah memiliki rencana untuk memberikan ASIX pada buah hatinya. Ketidakpahaman itu seringkali mendapatkan justifikasi ketika sang ibu memiliki masalah dengan belum keluarnya ASIX, padahal bayi baru lahir mampu menunggu disusui hingga lebih dari satu hari. Ketika sang ibu masih tergolek setelah melahirkan, disinilah peran ayah untuk menjaga agar bayinya mendapatkan hanya ASIX. Pengaturan peredaran sufor via peraturan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Pemda Sulawesi Selatan dan Klaten adalah hal yang baik, termasuk dalam hal ini menyiapkan fasilitas nursery ditempat umum atau di tempat kerja, adalah kebijakan yang harus didukung dan dikembangkan. Di Taiwan, setiap tempat umum terdapat fasilitas nursery room yang bagus. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan cuti bagi ibu menyusui. Di Inggris, terdapat peraturan yang melarang penitipan bayi dibawah usia 9 bulan, dan pemberian cuti melahirkan bagi para wanita pekerja hingga 9 bulan. Swedia bahkan tidak hanya memberikan ibu, namun juga ayah pekerja yang memiliki bayi hingga 12 bulan dan masih memberikan 80 persen gaji. Singapura sejak zaman Lee Kwan Yew memberikan subsidi pada ibu-ibu hamil dan menyusui agar mendapatkan asupan yang cukup dan bergizi. Bagi para orang tua Indonesia, seraya menunggu lahirnya kebijakan yang berpihak pada investasi pembangunan SDM sejak dini ini, adalah tanggung jawab ayah untuk mengalihkan alokasi dana untuk pembelian susu formula dengan memberikan asupan gizi yang cukup pada ibu menyusui, sehingga ASIX bisa diberikan pada bayi baru lahirnya. Ayah dan PendidikanSetelah merawat bayinya, pada masa pertumbuhan sang anak, peran ayah untuk memberikan pendidikan secara berjenjang pada anak-anaknya adalah tanggung jawab yang mulia. Memberikan pendidikan agama dan budi pekerti, mengembangkan psikologi yang sehat bagi anak, pengembangan kognitif dan motorik anak usia dini, menyiapkan pendidikan dasar, menengah hingga tinggi harus disiapkan oleh ayah dengan sebaik-baiknya. Tidak benar merasa cukup dengan menyekolahkan anak mulai TK hingga PT, dan melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan. Dari keluargalah anak dibentuk, digembleng dan diarahkan. Jika keluarga rusak, maka rusaklah anak, dan sebaliknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga yang baik akan mengantarkan terbentuknya generasi penerus yang tidak saja kuat intelegensinya, namun juga terampil dan memiliki kemampuan afektif yang bagus. Selamat berjuang kepada para ayah untuk mewujudkannya.***

Mengapa PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

KALAU kita singkap apa yang tersirat pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Apa sebenarnya dampak dan implikasi undang-undang itu bahwa anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya. Undang-Undang tersebut sudah semestinya diimplementasikan, dan tentunya kita tidak akan menemukan lagi anak-anak yang tidak mampu, anak-anak terlantar dan anak-anak yang tinggal di daerah yang tidak mengecap pendidikan.
Salah satu upaya kongkrit yang mungkin dapat dilakukan adalah menggalakkan keberadaan apa yang dikenal dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan semacam ini dapat dilakukan dengan tidak mengenal tempat dan lokasi, apakah di perkotaan maupun di pedesaan. Program ini bisa saja dalam bentuk lembaga formal dan dimungkinkan pula dalam bentuk lembaga non formal.Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.
Ada kajian yang menyatakan bahwa anak-anak yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.Dampak dari itu, ada berbagai daerah yang sudah mengeluarkan kebijakan mulai tahun ajaran baru pemerintah mengisyaratkan anak masuk SD harus memiliki surat tanda tamat melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil observasi di beberapa MI dan SD, tingkat drop out anak-anak SD yang tidak melalui TK lebih tinggi dari pada anak-anak yang melalui TK. Pemerintah harus memikirkan akibat yang ditimbulkan. Kesenjangan pasti terjadi.
Konsep bermain sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. Kebijakan pemerintah kabupaten akan ikut menentukan nasib anak serta kualitas anak di masa depan.Masa depan yang berkualitas tidak datang dengan tiba-tiba, oleh karena itu lewat PAUD kita pasang pondasi yang kuat agar di kemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.
Di samping pemerintah, masyarakat adalah komunitas yang sangat berperan untuk mengembangkan PAUD. Jika kendalanya masalah biaya, masyarakat dalam hal ini lembaga penyelenggara PAUD bisa menyiasatinya dengan mereduksi biaya melalui kreativitas membuat alat peraga sendiri, menghilangkan kewajiban seragam.

Tutor Pendidikan Anak Usia Dini

Berkembangnya pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD) membutuhkan banyak tutor kompeten untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak berusia 0-6 tahun. Seiring kebijakan pemerintah menyelenggarakan rumah pintar yang tersebar di seluruh penjuru desa/kelurahan, kegiatan PAUD makin mendapat tempat dalam masyarakat. Gaung pun bersambut antara pemerintah dan masyarakat. Upaya pemerintah dan LSM peduli anak memfasilitasi penyediaan alat permainan edukatif (APE), pelatihan guru, bantuan seragam anak-anak, bahkan pembangunan gedung PAUD, mendorong masyarakat kian sadar pentingnya PAUD sebagai bagian pendidikan anak-anak.Di samping PAUD modern yang dikelola lembaga-lembaga yang mapan, di kalangan rakyat bawah juga mulai dikembangkan PAUD berbasis masyarakat untuk masyarakat kalangan bawah yang tidak mampu mengakses PAUD modern. PAUD berbasis masyarakat konsepnya amat sederhana. Jangan dulu bicara kualitas ketika membicarakan pendidikan untuk masyarakat bawah. Ketersediaan akses merupakan jawaban yang tepat bagaimana anak-anak yang berasal dari kalangan miskin memperoleh pendidikan.Dewasa ini disadari, pendidikan yang diberikan sedini mungkin berdampak amat positif dalam tumbuh kembang anak. Usia 0-6 tahun adalah usia emas pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan yang diberikan semenjak dini akan sangat menentukan pada masa-masa selanjutnya. Masa anak usia dini adalah masa yang sangat strategis dengan memberikan rangsangan yang tepat. Rangsangan-rangsangan itu termasuk pemberian perawatan-perawatan yang sifatnya medis, kemudian memberikan gizi, kecerdasan, serta tempat bermain yang tepat kepada anak agar anak itu cerdas secara komplet, bukan hanya dalam aspek intelektual. Tak mengherankan perbaikan gizi dalam masyarakat cukup efektif melalui lembaga-lembaga PAUD. PAUD berbasis masyarakat yang dikembangkan sebuah LSM di Kelurahan Tandang dan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, di samping diisi kegiatan permainan dan rangsangan edukatif juga diselipi kegiatan makan bersama sebagai sarana perbaikan gizi. Dan terbukti, makan bersama tidak hanya memberi manfaat bahwa gizi anak makin membaik, tetapi juga anak belajar makan bersama orang lain. Pendamping juga dapat mengajarkan keterampilan berbagi kepada peserta didik. Dan terbukti, anak-anak yang mengikuti PAUD perkembangan individu dan sosialnya melampaui anak-anak lain yang tidak mengikuti PAUD. Sosialisasi Terlambat Indonesia memang terlambat dalam mensosialisasikan program PAUD. Program ini baru secara serius digarap pada tahun 2005. Jadi wajar manakala perkembangannya belum sampai pada taraf yang memuaskan. Meski begitu, upaya pemerintah menyebarluaskan PAUD dan kesadaran masyarakat belum diimbangi dengan insentif memadai, selain juga belum diimbangi de-ngan kesiapan tutor untuk mendidik anak. Sebagian besar PAUD masih atas inisiatif dan prakarsa masyarakat. Pertama, banyak tutor kegiatan PAUD diambil dari ibu rumah tangga setempat. Ini memberi kesan “yang penting berjalan dahulu”, masalah latar belakang pendidikan cenderung diabaikan. Dengan demikian mereka membutuhkan serangkaian pelatihan yang memadai agar mampu mengasuh anak-anak. Ini pun membawa masalah karena banyak ibu senang mengajar karena biasanya dipaketkan dengan kegiatan PKK kampung dan kader kesehatan. Namun, mereka kadang malas mengikuti pengembangan diri melalui serangkaian pelatihan yang memaksa mereka duduk lama dalam kelas untuk menyerap materi pembelajaran. Mereka lebih menyukai pelatihan praktis seperti beyond center cyrcle time (BCCT) yang langsung dapat diterapkan dalam kelas. Ketika belakangan ini ada syarat bahwa tutor PAUD minimal berpendidikan sarjana (S-1) atau D-4, timbul masalah apakah para sarjana pendidikan itu mau bekerja untuk PAUD berbasis masyarakat yang insentifnya saja habis untuk membeli bensin. Mendidik PAUD sebenarnya tidak hanya berdasar minat saja. Untuk melatih anak-anak bermain, berinteraksi dengan orang lain ternyata pengalaman sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anaknya sendiri di rumah belum cukup. Perlu kreativitas agar suasana kelas menjadi hidup sehingga anak-anak kerasan dalam proses pembelajaran. Tentu saja, PAUD berbasis masyarakat ini tertinggal jauh dalam hal kualitas dari PAUD-PAUD yang profesional, yang diselenggarakan oleh lembaga yang sudah berpengalaman. Sebagai upaya memperluas jangkauan akses pendidikan, penyelenggaraan PAUD sudah amat menolong. Dan kelebihan PAUD berbasis masyarakat berada di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi milik masyarakat. Kebutuhan dan pengembangan dapat didiskusikan bersama warga masyarakat. Kesejahteraan TutorKedua, manajemen PAUD berbasis masyarakat belum dikelola secara memadai. Misalnya, soal penilaian atau evaluasi peserta didik, kenaikan jenjang belum mempergunakan standar yang baku. Mereka menjadikan PAUD sebagai karya sosial di sela-sela kegiatan mengurus rumah tangga. Kebanyakan juga tidak didukung oleh lembaga yang kredibel dalam pendidikan. Oleh karena itu, mereka tidak berkelanjutan kalau kelak lembaga donor atau pemerintah yang selama ini menopangnya menarik dukungan. Tidak tersedianya alat evaluasi atau monitor menyebabkan perkembangan anak tahap demi tahap kurang terpantau. Para tutor jika tidak memiliki referensi mengenai perkembangan peserta didiknya, padahal dengan sering mengadakan evaluasi akan diperoleh informasi untuk mengembangkan mutu ajar pada pembelajaran berikutnya. Minimnya pengetahuan dan pelatihan menyebabkan adanya PAUD yang sudah mengajari anak-anaknya membaca, bukan sekadar bermain. Ketiga, terbatasnya referensi pengajaran PAUD menyebabkan kreativitas pengajaran menjadi amat sempit. Lalu sangat mudah mereka kehabisan bahan pembelajaran yang berakibat kegiatan yang diberikan cenderung monoton. Anak-anak cepat bosan dengan pembelajaran yang diulang-ulang. Keempat, rendahnya insentif yang diberikan kepada para guru PAUD. Tahun ini dari 188.834 tutor PAUD baru sekitar 30.000 yang mendapatkan insentif dari pemerintah. Besaran insentif juga tidak seberapa, hanya Rp 100.000 per bulan, yang sama sekali tidak menunjang pengembangan tutor yang bersangkutan. Rendahnya insentif menyebabkan peminat menjadi tutor kurang berkembang, bahkan cenderung dianggap kegiatan sambilan belaka. Jika pemerintah serius (baca: Depdiknas), mestinya PAUD berbasis masyarakat di garda depan mendapatkan perhatian yang lebih serius. Ingar-bingar tunjangan fungsional guru dan dosen ironisnya tidak menyentuh kesejahteraan pada tutor PAUD. Yang jelas, menjadi kebutuhan besar untuk makin memanusiakan guru PAUD tidak hanya dari sisi anggaran yang kian memadai, tetapi juga dukungan kebijakan yang bermuara pada penyediaan tutor yang memadai, bahan ajar yang lengkap, dan kebutuhan lain yang diperlukan.

Ibuku Guruku (Metode Home Schooling Group, Alternatif Model Pendidikan Anak Usia Dini)

Keluarga Samara. Hasil penelitian neurologi dan kajian pendidikan anak usia dini cukup memberikan bukti betapa pentingnya stimulasi sejak usia dini dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak guna mewujudkan generasi mendatang yang berkualitas dan mampu bersaing dalam percaturan dunia yang mengglobal pada milenium ke tiga ini. Di samping itu, Rasulullah SAW bersabda uthlubul’ilma minalmahdi ilal lakhdi yang artinya “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
Hadits tersebut menekankan betapa pentingnya seseorang belajar sedini mungkin. Tentu kesadaran akan perlunya belajar sejak usia dini ini tidak muncul dari si bayi yang ‘belum bisa apa-apa’, namun dimulai dari kesadaran orang tuanya untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada anaknya sejak dini. Karena pada dasarnya, ketika seorang manusia telah terlahir ke dunia ini, ia telah dilengkapi berbagai perangkat seperti panca indera dan akal untuk menyerap berbagai ilmu.
Inilah peletak dasar pentingnya pendidikan usia dini. Sejak dini anak harus diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik anak pada usia ini ibarat membentuk ukiran di batu yang tidak akan mudah hilang, bahkan akan membekas selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan sangat membekas hingga anak dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini ini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan akses pelayanan pendidikan anak usia dini terus dilakukan, namun data membuktikan dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73 persen atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan layanan pendidikan, baik secara formal maupun non-formal. Khusus anak usia prasekolah, akses layanan pendidikan anak usia dini masih rendah (sekitar 20.0%). Artinya sebanyak 80.0% lainnya belum terlayani di pusat-pusat pendidikan anak usia dini. Kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan juga terjadi (Jalal 2002). Hasil yang serupa juga ditemui pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliana dkk. di penghujung tahun 2004 dan awal tahun 2005 di Pulau Jawa, bahwa sebagian besar (86.3% di pedesaan dan 73.2% di perkotaan) anak usia prasekolah belum mengakses program-program pendidikan yang ada baik di jalur formal maupun non formal.
Penyebabnya karena masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan khusus untuk usia dini. Selain itu mahalnya biaya pendidikan, semakin menyulitkan anak-anak untuk mendapatkan kesempatan belajar, terutama untuk anak usia dini. Masyarakat secara umum tidak mampu menjangkaunya. Sebagai contoh ada sekolah di Jakarta menarik uang pendaftaran untuk jenjang prasekolah Rp 15 juta di luar uang bulanan Rp 1 juta. Dengan biaya sebesar itu tentunya hanya anak-anak dari kalangan tertentu saja yang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang ”bermutu”.
Padahal keberlangsungan pendidikan untuk anak usia dini, tidak harus dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam lembaga pendidikan. Ibu, adalah SDM yang sangat berpotensial untuk menjadi guru bagi anak-anak usia dini. Ibu memiliki interaksi kuat dengan anak, karena dialah orang yang pertama kali menjalin interaksi; memahami dan selalu mengikuti seluruh aspek tumbuh kembang anak tanpa ada yang terlewat. Ibu adalah orang pertama yang menjadi teladan bagi anak, karena ialah orang terdekat anak. Ibulah yang mampu menerapkan prinsip belajar untuk diterapkan, karena ia yang paling banyak memiliki waktu bersama anak. Ibu adalah yang paling berambisi menyiapkan anak yang sholeh, karena baginya hal tersebut menjadi investasi terbesar untuk akhirat. Akhirnya, memang hanya ibu yang memiliki peluang terbesar mendidik anak dengan penuh ketulusan, kasih sayang dan pengorbanan yang sempurna.
Peluang Ibu menjadi guru bagi anak-anak usia dini sangat besar sekali. Masih banyak Ibu-Ibu yang ada di negeri ini tidak bekerja dan mengurus anak-anaknya secara langsung. Bila Ibu yang menjadi guru maka biaya pendidikan yang dikeluarkan tidaklah besar, karena Ibu dalam menjalankan perannya sebagai pendidik dilakukan di dalam rumah dengan waktu yang disesuaikan dengan kondisi anak dan Ibu. Berbeda dengan memasukkan anak ke dalam sekolah, mereka terikat dengan jadwal belajar tertentu. Ibu pun harus mengeluarkan biaya yang mahal. Menjadikan Ibu sebagai guru dan melaksanakan proses pendidikan dengan metode kelompok belajar bersama di rumah, itulah yang dijalankan dalam program Ibuku Guru Kami dengan metode home schooling group.
Mengapa pendidikan anak usia dini dilakukan di rumah?
Rumah merupakan lingkungan terdekat anak dan tempat belajar yang paling baik buat anak. Di rumah anak bisa belajar selaras dengan keinginannya sendiri. Ia tak perlu duduk menunggu sampai bel berbunyi, tidak perlu harus bersaing dengan anak-anak lain, tidak perlu harus ketakutan menjawab salah di depan kelas, dan bisa langsung mendapatkan penghargaan atau pembetulan kalau membuat kesalahan. Disinilah peran ibu menjadi sangat penting, karena tugas utama ibu sebetulnya adalah pengatur rumah tangga dan pendidik anak. Di dalam rumah banyak sekali sarana-sarana yang bisa dipakai untuk pembelajaran anak. Anak dapat belajar banyak sekali konsep tentang benda, warna, bentuk dan sebagainya sembari ibu memasak di dapur.
Anak juga dapat mengenal ciptaan Allah melalui berbagai macam makhluk hidup yang ada di sekitar rumah, mendengarkan ibu membaca doa-doa, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan cerita para Nabi dan sahabat dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan. Oleh sebab itu rumah merupakan lingkungan yang tepat dalam menyelenggarakan pendidikan untuk anak usia dini seperti yang dilakukan semasa pemerintahan Islam, bahwa pendidikan untuk anak-anak di bawah tujuh tahun dibimbing langsung oleh orang tuanya.
Al-Abdary dalam kitab Madkhalusi asy-Syar’i asy-Syarif mengkritik para orang tua dan wali yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah pada usia kurang dari tujuh tahun. Ia mengatakan:“Dahulu para leluhur kita yang alim mengirimkan putera-puteranya ke Kuttab/sekolah tatkala mereka mencapai usia tujuh tahun. Sejak usia tersebut orang tua diharuskan mendidik anak-anaknya mengenal shalat dan akhlak yang mulia. Akan tetapi saat ini amat disesalkan bahwa anak-anak zaman sekarang menuntut ilmu pada usia yang masih rawan (4-5) tahun. Para pengajar hendaknya hati-hati mengajar anak-anak usia rawan ini, karena dapat melemahkan tubuh dan akal pikirannya”.
Metode home schooling group ini dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat karena dalam pelaksanaannya bersifat dinamis, dapat bervariasi sesuai dengan keadaan sosial ekonomi orang tua. Keterlibatan orang tua (ibu) dalam home schooling group sangat dominan dan jarak tempuh anak ke kelompok-kelompok home schooling dapat ditempuh anak dengan berjalan kaki (maksimal 1 km). Hal demikian menjadikan keunggulan dari home schooling (murah, ibu dekat dengan anak, dan dinamis). Mengapa harus dalam bentuk grup atau kelompok ? Hal tersebut bertujuan untuk menanamkan konsep sosialisasi pada anak, membangun ukhuwwah Islamiyah di kalangan Ibu disamping dapat meringankan beban ibu dan upaya memperbaiki lingkungan masyarakat
Kurikulum home shcooling group diharapkan dapat mencerminkan kegiatan untuk membangun kemampuan kepribadian anak dan kemampuan ilmu Islam/tsaqofah (mencakup materi aqidah, bahasa arab, Al-Qur’an, As-Sunnah, fiqh, siroh nabi dan sejarah kaum muslimin) dan membangun kemampuan keterampilan sainteks (kognitif, bahasa, motorik kasar, motorik halus, seni, kemandirian dan sosial emosional). Kegiatan tersebut dilakukan dengan metode pengajaran bermain sambil belajar melalui keteladanan, mendengar, mengucapkan, bercerita dan pembiasaan. Pendekatan pembelajaran dalam home schooling group haruslah berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak, kebutuhan anak, menggunakan pendekatan tematik, kreatif dan inovatif, lingkungan kondusif dan mengembangkan kemampuan hidup.
Peran Ibu sebagai pendidik pertama dan utama, tidak hanya dalam rangka mendidik anak-anaknya semata. Hal ini disebabkan, anak-anaknya berinteraksi dengan anak orang lain di lingkungannya. Anak kita membutuhkan teman untuk belajar bersosialisasi dan berlatih menjadi pemimpin. Kesadaran kita sebagai seorang muslim yang peduli dengan kondisi masyarakatnya akan menumbuhkan rasa tanggungjawab untuk turut mendidik anak-anak lain sebagai generasi penerus umat. Sehingga Ibu tidak cukup mendidik anak sendiri, tetapi juga perlu mendidik anak-anak lain bersama ibunya yang ada di lingkungannya.
Kesamaan visi dan misi dalam mendidik anak di kalangan orangtua sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan aktivitas belajar yang efektif dan efisien. Seringkali selama ini orang tua menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan pendidikan anak-anak (termasuk usia dini) kepada sekolah dan guru. Orangtua seharusnya menyadari bahwa kewajiban untuk mendidik anak tidaklah hilang dengan menyekolahkan mereka. Orangtua pun perlu mengkaitkan proses belajar di sekolah dengan di rumah sehingga target pendidikan dapat dicapai.
Menjadi guru bagi anak-anak usia dini, tidaklah berarti Ibu mendidik anaknya secara individual, namun dapat dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan para orangtua (Ibu) yang ada di sekitar lingkungannya menjadi team pengajar (guru). Sistem kelompok belajar dalam bentuk grup, selain menumbuhkan kebersamaan dan melatih anak dalam bersosialisasi juga menyuburkan persaudaraan dan kedekatan diantara orangtua sehingga memudahkan memberikan penyelesaian terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dari anak-anak tersebut. Dengan demikian anak-anak usia dini mendapatkan pelajaran dalam bentuk kelompok dan akan melanjutkan pelajaran mereka di rumah bersama ibunya masing-masing.

Pendidikan Anak Usia Dini

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:
Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka "cepat menjadi pandai." Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan "perilaku aneh" dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.

Informasi Harga Program
Tanda-tanda Umum Anak BerbakatSejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi "kehausan" akan informasi.Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.

Informasi Harga Program
Pelayanan bagi Anak BerbakatMengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara "lompat kelas", artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Informasi Harga Program
Pergaulan Anak BerbakatAnak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.Di dalam keluarga pun oran gtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.

Anak Belajar, Negara Membayar

Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik danbadai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganasitu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anaksekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entahke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya.Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas), pendidikanyang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk dalam skemapendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan layanan khusus?Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikanlayuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum dibuat hingga kini.Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami. Sebenarnya,sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau Bertam,Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut.Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokohmasyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasiunik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikianantara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang dituliskandalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau BertamPerairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula dimandikan airlaut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi bayi.***Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisibagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnyamesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat,konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anakpaling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskanbahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilahrasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA)menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is afundamental right of all children).Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: SpecialConsiderations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF,diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anakdalam situasi krisis.Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan daruratadalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapatmembantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikandapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat.Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan padalingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat bergunasebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun solidaritas, danspirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini relevan untukmembangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak.Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraanpendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak ataspendidikan dengan kualitas bagus.Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan nondiskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan anakyang berbasis kesetaraan kesempatan.Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi daruratitu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberipelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yaknikonten yang relevan, aksesible.Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan danefektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehatdan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan,dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender.Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalamskema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atauregulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malahpersonal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja.Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasipengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakatuntuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksidari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritassegera dalam program pendidikan darurat.Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru,para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk menyiapkanskil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi situasidarurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan sekolahnya.Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan.Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untukpendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besamaUNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, sepertiScholl-in a- Box.Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan,mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambahkemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum danmaterial pendukung pendidikan bisa musnah.Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau yangtersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya, perlupengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal.Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasidan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas.Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari traumapsiko-sosial yang dideritanya.Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukanuntuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti efektifmengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik.Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistempendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan ruangankelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan mendorongkordinasi dengan kelembagaan lain.Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah menjadiperintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem pengajarannasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan layanankhusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas.Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulauterpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalamangunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negaraberkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar.***

Ribuan Anak di Jogja Tidak Sekolah

Wajib belajar 9 tahun belum berjalan maksimal. Tercatat masih terdapat 5.151 anak berusia 7-15 tahun belum tersentuh program wajib belajar di DIY. Dari jumlah tersebut, 1.733 anak difabel yakni penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tunalaras, tunawicara, tunaganda, ODHA dan gifted atau IQ rendah, kesulitan belajar, autis, dan korban narkoba.
Hal itu diakui Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan DIY, Nova Widianto. Menurut dia, anak-anak penyandang cacat juga mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal itu jelas tersebut dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) seperti pasal 51 sampai 53 sudah mengatur tentang hak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan.
“Pasal 51 misalnya, anak penyandang cacat fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa” jelasnya, Rabu (30/1/2008). Menurutnya hal tersebut tidak ada perbedaan dalam hal memperoleh pendidikan bagi semua anak Indonesia.
Untuk itu, pihaknya kini akan memberikan jenis bentuk layanan pendidikan seperti sekolah khusus, sekolah inklusif, dan pendidikan layanan khusus. Dalam sekolah khusus menurut Nova terdiri sekolah penyandang cacat (SLB), sekolah khusus cerdas istimewa dan sekolah khusus bakat istimewa.
“Sekolah inklusif adalah sekolah biasa yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan infrastruktur,” imbuh Nova.
Untuk pendidikan layanan khusus tersebut, nantinya akan dipusatkan pada anak daerah terpencil, anak masyarakat etnis minoritas, anak jalanan, dan anak pengungsi.
Sementara itu TP (Tim Penggerak) PKK DIY selaku lembaga yang ditunjuk untuk menyelenggarakan sosialisasi Program Layanan Khusus tersebut menyambut baik usulan tersebut.
Ketua TP PKK DIY GKR Hemas mengatakan, apresiasi masyarakat terhadap program yang dibuat pemerintah khususnya untuk memajukan SDM, menunjukkan perkembangan yang berarti.
“Sepanjang program tersebut sesuai dengan kebutuhan dan memiliki dasar keilmuan yang jelas, masyarakat pasti banyak yang mendukung,” kata Hemas.

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.Anggaran ditingkatkanUntuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON) (uchie)

Kala Suara Anak Jalanan Teredam ‘Live Music’

JAKARTA, RABU - Bagi kalangan kelas menengah ke atas, menikmati hiburan live music menjelang pergantian tahun merupakan hiburan yang menyenangkan. Namun bagi anak-anak jalanan yang biasa berprofesi sebagai pengamen, hingar bingar live music justru mengurangi pendapatan mereka hari ini.
Ketika ditemui di kawasan Tebet Utara Dalam, enam orang anak jalanan yang biasa beroperasi di sejumlah kafe yang memang berjejer di ruas jalan Tebet Utara Dalam sedang bercengkerama di trotoar di pertigaan ujung jalan ini. Hingar bingar live music dari Comic Cafe, Burger and Grill dan sejumlah kafe lainnya memaksa mereka harus diam.
“Nggak boleh ngamen. Dimarahin ama penjaganya,” ujar Harupin (9).
Teman-temannya, Doni (6), Iwan (10) dan Riswan (11) sibuk mencoba terompet tahun baru yang baru saja mereka peroleh dari penjual terompet di tempat itu dengan cuma-cuma.
Sementara itu, teman lainnya Oki (11) dan Doni (10) menyusul kemudian. Doni yang berumur 10 tahun mengaku sering mengamen di daerah ini dengan intensitas tak tentu. Sekali-kali bisa saja pindah ke daerah lain atau justru di kereta rel listrik (KRL) ekonomi. Seharinya, sekitar Rp 10.000-20.000 bisa mereka kantongi. Jika ngamen bertiga, tentu saja uangnya harus dibagi tiga.
Menjelang 2009, tak ada satupun dari mereka yang mengungkapkan harapan khusus yang mereka inginkan. Bahkan, Doni yang ayah ibunya tidak akur hingga pisah rumah hanya terdiam ketika ditanya mengenai rencananya di tahun depan.
“Apa ya? Nggak tau,” ujarnya lalu diam. Nggak ingin sekolah? “Oh iya, mau,” tandas Doni meralat jawabannya.
“Nggak mungkin,” seru Harupin yang memang agak usil.
Meski gelap malam menyamarkan senyum simpul Doni, senyumnya melanjutkan tekad yang baru saja diucapkannya. Asal saja, kesempatan pun segera diberikan kepada anak-anak tidak mampu seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan menjadi 20 persen oleh pemerintah.

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

Berkunjung ke Sekolah Khusus Samantha Yuks…

Keberadaan sekolah khusus seolah kalah pamor oleh pendidikan formal. Seringkali, hanya mereka yang memiliki anak atau kerabat yang menderita kelainan saja yang mau berhubungan dengan sekolah khusus.
Aktivitas belajar mengajar di sekolah khusus tidak jauh beda dengan sekolah pada umumnya. Namun karena siswanya beda, para guru di sekolah khusus dituntut dengan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Celaan, umpatan bahkan yang bersifat fisik seperti pukulan, cakaran dan gigitan biasa diterima para guru di sekolah jenis ini.
Pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan. Sekolah Berkelainan (SLB) merupakan lembaga pendidikan khusus yang menampung anak dengan jenis kelainan yang sama. Di jenis sekolah khusus ini ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya bisa terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu merupakan sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra.
Sekolah Khusus Samantha merupakan salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Banten yang prestasi para siswanya mampu berbicara di tingkat nasional. Sekolah yang berdiri sejak 31 Desember 2002 ini berlokasi di lingkungan Penancangan Pasir Rt 02/04, Kaligandu, Serang.Sekolah di bawah pengelolaan Yayasan Samantha yang diketuai oleh Drs Sunardi dengan Didik Setiabudi SPd sebagai Kepala Sekolah dan Ade Rudiyat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Saat ini Samantha memilki 18 orang guru.
Berdirinya Samantha juga dilatarbelakangi oleh masih relatif jarangnya sekolah lanjutan dari SLB di Serang. Setelah tamat SLB para orang tua yaqng memilki anak berkelainan bisa kebingungan jika ingin melanjutkan pendidikan untuk anaknya. Samantha menampung para siswa mulai dari TK sampai SMA.
Ada lima jurusan sesuai dengan kondisi para siwa. Jurusan A untuk pelajar tuna netra. Jurusan B untuk pelajar tuna rungu. Jurusan C untuk pelajar tuna grahita. Jurusan D untuk pelajar tuna daksa. Satu lagi jurusan untuk anak autis. Di awal berdirinya, Samantha didirikan khusus untuk pelajar tuna rungu atau hanya jurusan B. Seiring banyaknya permintaan masyarakat, setelah berjalan sekitar enam bulan, sekolah ini membuka jurusan untuk tuna Netra, Tuna Grahita, Tuna Daksa dan Autis.
“Saya merasa senang belajar di sini, bisa punya banyak teman dan gurunya sangat baik,” ungkap Dallilah Khoirotulhuda, siswa kelas 2 SMA. Pada Lomba Prestasi dan Kreativitas Tk. Provinsi Banten 2004, Dallilah berhasil meraih juara pertama pada lomba SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
Saat ini 35 orang siswa menempuh pendidikan di sekolah khusus ini. Layaknya sekolah lain, Samantha juga mengadakan kegiatan ekstra kurikuler bagi para siswanya seperti olahraga, pencak silat, komputer, kesenian dan pramuka. Kegiatan semacam ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pelajar dan memberikan keterampilan khusus.
Sebagai lembaga sosial, Samantha juga menerima siswa yang orang tuanya kurang mampu. Bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, ada keringanan biaya sekolah bahkan hingga gratis.
Beberapa prestasi pelajar Sekolah Khusus Samantha antara lain :
No.
Prestasi
1
Juara I Lomba Lari 200 m Putra pada PORCADA, Oktober 2003
2
Juara I Lomba SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) pada Lomba Prestasi dan Kreatifitas Tk. Propinsi Banten, Agustus 2004
3
Juara III PORCANAS pada Lomba Catur (Tuna Rungu), 28 September s.d 5 Oktober 2004
4
Juara I Lomba Bulu Tangkis Ganda Putri (Tuna Rungu) pada PORCAPROV, September 2006
5
Juara I Lomba Lari 100 m dan 200 m (Tuna Netra) pada PORCAPROV, September 2006
6
Juara II Lomba Menyanyi (Tuna Netra) pada Lomba Prestasi dan Kreatifitas Tk. Provinsi Banten, September 2006
7
Juara I Lomba Bulutangkis Tunggal Putri (Tuna Rungu) pada POPCADA Banten pada, September 2006
8
Juara I Lomba Menyanyi (Tuna Netra) pada Lomba Pekan Krestivitas Hari Anak Nasional Tk. Kab. Serang, Juli 2007
9
Juara I Lomba Pidato SIBI (Tuna Rungu) pada Lomba Pekan Krestivitas Hari Anak Nasional Tk. Kab. Serang, Juli 2007
10
Juara III Lomba Baca Al-Qur’an (Tuna Netra) pada Lomba Pekan Krestivitas Hari Anak Nasional Tk. Kab. Serang, Juli 2007
11
Juara I Lomba Menyanyi SMPLB-A (Tuna Netra) pada Lomba Prestasi dan Kreatifitas Tk. Provinsi Banten, Agustus 2007