Kamis, 19 Maret 2009

Pendidikan Menengah untuk Rakyat Miskin

Wendell Johnson, ahli psikologi klinis Universitas Iowa, AS, pernah memberikan empat nasihat supaya orang tidak terkena gangguan jiwa. Salah satunya adalah jangan mengacaukan kata dengan rujukannya. Kata itu bukan rujukan. Kata hanya mewakili rujukan.
Sejak dahulu, pemerintah dan pejabat sangat pandai dalam memainkan kata-kata. Ketika pejabat X ditahan dikatakan bahwa dia tidak ditahan tapi hanya ”diamankan”. Dan ketika didapati di suatu daerah terdapat banyak orang miskin cukup dikatakan bahwa daerah itu ”rawan pangan”.
Permainan kata-kata itu rupanya berlanjut sampai sekarang. Rencana kenaikan penghasilan pimpinan DPR sebesar Rp 85 juta dan Rp 46 juta untuk anggota DPR tidak dikatakan kenaikan gaji, tapi hanya kenaikan tunjangan. Meski rujukannya sama, yaitu kenaikan keuangan.
Di bidang pendidikan, permainan kata-kata oleh pemerintah tidak kalah dahsyat. Sekolah percontohan, sekolah teladan, pendidikan dasar gratis, dan kata-kata promotif lainnya menghiasi dunia (kata-kata) pendidikan. Namun, mayoritas kata-kata itu sama sekali tidak mencerminkan rujukannya. Terjadi perbedaan yang sangat jauh antara kata-kata dan rujukannya.
Contoh paling mutakhir dari perbedaan antara kata dan rujukan adalah kata-kata ”pendidikan dasar gratis”. Kata ini seharusnya merujuk pada penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar dan menengah (SD dan SLTP) tanpa dipungut biaya apa pun. Pendidikan dasar mempunyai pengertian tingkat dasar dan menengah, sedangkan gratis berarti tanpa pungutan. Entah itu pungutan pendaftaran (apalagi pendaftaran ulang), pengadaan buku ajar, atau pungutan (baca: sumbangan) pengadaan gedung, dan pungutan (baca: iuran) pelaksanaan ujian.
Pada kenyataannya kata itu tinggal kata, sama sekali tidak mencerminkan rujukannya. Penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar dan menengah yang diadakan oleh SD/MI dan SMP/MTs negeri sama sekali tidak berlaku seperti itu. Di Kota Malang misalnya, untuk pendaftaran SD/MI tingkat standar dibutuhkan lebih kurang Rp 700.000 dan untuk SD/MI favorit lebih dari Rp 1 juta. SMP/MTs standar butuh biaya Rp 1 juta, dan tentunya yang favorit lebih dari itu.
Pada hari Senin tanggal 11 Juli 2005, saya mencoba mengecek pembiayaan pendaftaran pada sejumlah SD dan SLTP. Ada beberapa kepala sekolah yang sudah berani menentukan biaya itu dan sebagian masih menjawab secara diplomatis, ”Masih menunggu rapat dengan komite sekolah.” Itu pun dibarengi pernyataan bahwa pada tahun lalu biaya pendaftaran Rp 600.000 (SD/MI) dan Rp 800.000 (SMP/MTs). Sepertinya para kepala sekolah mengatakan, ”Kalau tahun kemarin segitu, tahun ini, ya, di atas itu sedikitlah....”
Realita biaya mahal untuk pendidikan dasar dan menengah bukan realita di Kota Malang saja. Saya yakin itu merupakan realita di seantero Nusantara. Kecuali (mungkin) di Kabupaten Jembrana, Bali, yang mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai kabupaten pertama yang menyelenggarakan pendidikan dasar gratis di Indonesia.
Di belakang realita itu, yang perlu diketahui adalah bahwa pembiayaan mahal untuk penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tersebut didukung oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas, kepala sekolah dan guru diberi peluang untuk berkreativitas dalam pembiayaan sekolah. Berarti, kalau suatu ketika kepala sekolah dan guru menarik biaya mahal dari calon murid dan muridnya, pemerintah tidak bisa menegur (FX Wahono, Kompas, 12 Juli 2005).
Implikasi logis dari dukungan UU Sisdiknas bahwa selama beberapa tahun ke depan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah masih sangat mahal. Oleh karena itu, daripada nanti kecewa, para wali murid lebih baik tidak mengharapkan turunnya biaya pendidikan, apalagi pendidikan dasar dan menengah gratis terealisasi dengan segera.
Ganti kata
Salah seorang teman kami (baca: guru) yang duduk di Komisi C DPRD Kota Malang memberitakan bahwa Pemerintah Kota Malang benar-benar merealisasikan pendidikan dasar dan menengah gratis. Prosedur pemanfaatan subsidi pendidikan itu akan didapatkan masyarakat apabila peminta subsidi mengurus surat tidak mampu dari tingkat RT, RW, kelurahan sampai kecamatan. Kemudian mengajukan ketidakmampuan itu kepada kepala sekolah di sekolah yang akan dimasuki anaknya.
Menurut dia, apabila kepala sekolah tidak mau menerima, ia akan menelepon kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah bersangkutan. Dan ia akan menjamin bahwa anak peminta subsidi tidak akan dipungut biaya sepeser pun.
Kalau prosedur penyelenggaraan pendidikan seperti itu yang dimaksudkan dengan pendidikan dasar dan menengah gratis, maka—menurut hemat kami—kata itu tidak mewakili kenyataan. Justru penggunaan kata atau istilah program pendidikan untuk masyarakat miskin atau masyarakat tidak mampu, atau masyarakat kalangan ekonomi lemah, malah lebih mendekati makna denotatif—sekaligus makna konotatifnya—dari ”prosedur subsidi” tersebut.
Sebagai bangsa yang salah satu prioritasnya adalah integritas dan kestabilan bangsa dan negara, kita perlu untuk tidak mengacaukan kata dengan rujukannya. Mengingat kembali petuah doktor Wendell, hal itu secara personal bisa menyebabkan gangguan jiwa. Artinya, secara komunal hal itu menumbuhkan bibit disintegrasi dan ketidakstabilan (jiwa) bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar