Kamis, 19 Maret 2009

Pendidikan untuk Perempuan

Kuota beasiswa unggulan program Departemen Pendidikan Nasional sebesar 30% diperuntukkan bagi perempuan seperti yang diungkapkan Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Depdiknas pada program beasiswa unggulan (www.beasiswaunggulan.diknas.go.id), menjadi bukti nyata bahwa perempuan memerlukan pendidikan formal. Di daerah sekitar Pasar Cicadas atau Jelekong Bandung, misalnya, jumlah budak teu nyakola (tidak sekolah) semakin banyak terutama perempuan.
Budak teu nyakola adalah anak-anak yang tidak sekolah dan tidak peduli lagi pada sekolah, pekerjaannya main, berkumpul, minum-minum, mengganggu orang di jalan, menjadi calo karcis di bioskop taman hiburan, berkelahi, dan berkeliaran di pasar. Begitulah kondisi anak umur sekolah yang telah berhenti dari sekolahnya seperti yang dituturkan Geulis, remaja umur 16 tahun, kepada penulis.
Kemiskinan yang mendorong mereka meninggalkan pendidikan formal. Mereka dikenal masyarakat sebagai awewe baong. Istilah awewe baong ini beda dengan istilah lain bagi perempuan yang menjadi pekerja seks. Terdapat sejumlah istilah yang digunakan untuk pekerja seks, seperti ungkluk, ublag, bondon, hostes. Istilah-istilah yang muncul pada periode 70 dan 80-an. Bahkan ada istilah khusus UBS, yaitu singkatan dari ublag sompung. Ublag sompung ini adalah perempuan pekerja seks yang mangkal di ujung jalan Toko Sompung (sudah tidak ada), saat ini jalan tersebut diberi nama H. Sahroni Bandung.
Setiap hari, anak perempuan usia belasan itu duduk-duduk di beberapa tempat di gang atau pinggir jalan. Perempuan dan laki-laki bergabung duduk di bangku panjang yang tersedia di depan tempat pangkas rambut dan warung rokok pinggir jalan. Kumpulan di tempat ini cukup mencolok, terlebih jika malam Minggu sekitar pukul tujuh dan delapan malam. Potret perempuan teu nyakola ini menunjukkan kepada kita semua bahwa perempuan belum dapat menikmati pendidikan secara optimal.
Demokrasi pendidikan
Demokrasi pendidikan yang ingin diraih lewat program nasional wajib belajar 9 tahun mendukung pendidikan bagi perempuan. Di abad 19, lamanya masa wajib belajar dikenal dengan istilah schulpflict. Kewajiban sekolah pada usia anak enam sampai dua belas tahun. Rentang usia yang kemudian diperluas hingga usia empat belas tahum namun sebelum tahun 1871 jumlah sekolah yang memberikan masa pendidikan delapan tahun penuh relatif sedikit.
Masa pendidikan yang kemudian dikritisi oleh Benjamin Franklin (Freire, 1999: xxvi) bahwa masa pendidikan di mana bidang studi diajarkan tidak akan ada gunanya kalau tidak mengacu pada kebutuhan praktis siswi. Gagasan pendidikan Franklin yang kini disebut dengan istilah siap pakai. Bahan keilmuan yang diterjemahkan ke dalam istilah-istilah kehidupan sesuai dengan kebutuhan dan bertumbuhnya anak didik.
Di sisi lain, rendahnya pendidikan memberikan akibat bagi perempuan yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan sebagai korban KDRT rata-rata tamatan SD serta sebagian buta huruf. Sehingga perempuan korban KDRT merasa malu bahkan tidak tahu kemana mengadukan permasalahan yang dihadapinya. Hasil penelitian yang dilakukan SAPA Institute (2007) tentang kondisi pendidikan perempuan di Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, sebanyak 2.500 orang buta huruf dan 93% adalah perempuan. Sedangkan data yang masuk ke BPS dari Kecamatan Paseh hanya 937 orang. Padahal dari data yang diperoleh PLS kecamatan Paseh, dari satu RT saja ada 110 warga yang buta huruf. Rendahnya pendidikan perempuan tidak hanya dialami perempuan di perdesaan melainkan juga perempuan miskin di perkotaan. Hasil penelitian Akatiga (2007) di kelurahan Cicadas dan Kebon Lega menunjukkan, penguasaan aset perempuan sangat rendah terutama dalam bentuk pendidikan dan tidak memiliki keterampilan khusus. Kemudian hambatan karena relasi gender seperti dilarang suami karena harus mengasuh anak dan sebagainya.


Asal usul sosial
Terbatasnya pemahaman fasilitas pendidikan dan budaya tidak serta merta membuat perempuan harus termarginalkan. Perempuan anak didik dari keluarga miskin harus berjuang keras untuk meniti tangga sekolah. Berbeda dari mereka yang sejak kecil sudah mengenal buku, komputer, perpustakaan, langganan majalah atau koran, diskusi di mana olah pikiran menjadi aktivitas utama. Terbiasa dengan lingkungan pendidikan, perempuan dari keluarga kaya mampu menggunakan kata-kata dan cara berpikir lebih tajam. Menurut Pierre Bourdieu (Haryatmoko, 2003: 16) asal-usul sosial anak didik menjadi faktor menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan di sekolah. Kebiasaan membaca dan belajar karena sudah menjadi tradisi keluarga mempermudah anak didik dari lingkungan sosial tertentu memenangkan persaingan.
Beasiswa pendidikan
Dahulu program beasiswa ini diberikan kepada anak didik dari golongan ekonomi lemah (kurang mampu) tetapi mempunyai semangat tinggi untuk belajar dan melanjutkan pendidikan formal. Selanjutnya, program beasiswa berkembang untuk anak didik dari kelas sosial mana pun yang mempunyai prestasi lebih dibandingkan dengan anak didik yang lain. Pembebasan biaya pendidikan sudah ada sejak abad 17 seiring dengan berkembangnya sekolah untuk rakyat (volksschulen). Biaya sekolah yang ditanggung seluruhnya oleh komunitas setempat (Thut, 2005: 137-138).
Sekolah diandalkan sebagai tempat efektif untuk menaiki jenjang sosial. Melalui sekolah orang berharap akan memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun posisi dalam hierarki sosial.
Keberhasilan anak didik terutama perempuan dapat diukur dari: pertama, minat membaca dan kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca. Kesanggupan untuk mengemukakan suatu gagasan dengan teratur dan logis menjadi sarana mempertanggungjawabkannya secara argumentatif. Kedua, kesanggupan untuk menangkap pikiran orang lain dengan tepat dan menanggapinya secara terbuka dan kritis. Ketiga, kebiasaan mempelajari secara sistematis apa yang dilakukan dan mulai mengadakan studi terbatas sebagai pendasaran pembentukan pendapat sendiri.
Pemberian beasiswa pendidikan merupakan wujud perluasan kesempatan pendidikan bagi perempuan. Kesempatan yang tentu saja tidak hanya ditentukan banyaknya jenis institusi dan aneka ragam program di dalamnya melainkan seberapa mudah fasilitas itu dicapai semua segmen dalam masyarakat khususnya perempuan sebagai individu. Oleh karena itu, strategi implementasi program beasiswa unggulan pada tahun 2009 ini untuk memperluas akses bagi pendidikan perempuan merupakan langkah yang perlu di dukung semua pihak, baik kalangan DPR khususnya Komisi Pendidikan, masyarakat umum, maupun industri dan tentu saja komitmen pimpinan Depdiknas sendiri dalam pelaksanaan program beasiswa ini pada tahun-tahun selanjutnya. Perbaikan kuliatas pendidikan pada kaum perempuan merupakan strategi investasi jangka panjang untuk bangsa Indonesia yang siap memenangkan kompetisi di era globalisasi. Bravo Depdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar