Kamis, 19 Maret 2009

Persoalan Pendidikan Kita

Pendidikan merupakan hal yang penting dalam hidup kita. Kenapa penting? Karena lewat pendidikan, kita jadi bisa belajar berbagai macam hal dan memiliki pengetahuan atas kehidupan. Pendidikan sebetulnya dapat diperoleh tidak hanya melalui institusi formal seperti sekolah, tapi juga melalui pengalaman hidup dan institusi non-formal seperti perkumpulan atau paguyuban masyarakat tertentu. Namun sayangnya masyarakat masih banyak yang memandang pendidikan sama dengan sekolah formal. Sehingga ada ungkapan ”tidak sekolah formal artinya tidak berpendidikan”. Padahal, sekolah formal hanyalah satu media untuk mewujudkan pendidikan. Didalam kerangka hak asasi manusia, pendidikan merupakan hak dasar dengan media-medianya seharusnya dapat diakses oleh setiap orang. Namun kenyataannya, banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses, karena media pendidikan hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Pemerintah selama ini mengakomodasi hak pendidikan, terutama untuk pendidikan formal, dengan menyediakan banyak sekolah pemerintah atau sekolah negeri. Sekolah ini seharusnya ditujukan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. Tapi yang terjadi kemudian, ketika pembayaran sekolah di gratiskan, harga buku atau seragam malahan melambung tinggi. Hal tersebut pun memberatkan masyarakat yang bersekolah di sekolah negeri. Tidak hanya yang bersekolah, orangtua yang akan menyekolahkan anaknya menjadi berpikir lagi. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang benar-benar tidak mampu mengakses media pendidikan tersebut? Mereka hanya bisa pasrah. Karena mengeluh pun tidak akan berarti. Protes apalagi, tidak ada pihak penyelenggara pendidikan yang mendengarkan. Kalaupun ada, hanyalah sekelompok orang yang peduli dengan pendidikan. Tapi seringkali kelompok ini tidak memiliki kekuatan hukum atas kelangsungan media pendidikan tersebut, terutama sekolah negeri. Akibat dari pengabaian persoalan media pendidikan tersebut, ternyata mengakibatkan anak putus sekolah. Sebuah kasus anak putus sekolah di sebuah kota besar di Indonesia beberapa tahun belakangan, dikarenakan tidak dapat membeli buku pelajaran, anak menjadi takut ke sekolah. Ketakutan ini dikarenakan ketika ke sekolah, si anak akan selalu ditegur gurunya untuk membeli buku. Sekarang ini, kita melihat pada tayangan iklan layanan masyarakat di televisi, bahwa pemerintah memberi sumbangan buku ke setiap sekolah negeri. Sumbangan ini agar si anak tidak perlu membeli buku lagi, cukup meminjam dari sekolah. Persoalannya lagi, cukupkah buku yang tersedia untuk dipinjam semua anak? Ketika sekolah yang disumbang buku ternyata lebih dari 50% merupakan orang miskin secara ekonomi. Ternyata tidak. Persoalan media pendidikan termasuk buku ternyata masih merupakan persoalan. Tidak hanya persoalan media pendidikan, tapi juga persoalan didalam masyarakat sendiri. Masyarakat masih menganggap pendidikan merupakan alat untuk mencari kerja. Tidak dapat dipungkiri memang apabila seseorang memiliki pendidikan yang tinggi dan luas, kesempatan kerja menjadi lebih terbuka. Namun pada jaman sekarang tidak hanya pendidikan yang dibutuhkan tapi juga kerja keras dan ketekunan. Adanya pemikiran masyarakat tersebut juga mengakibatkan banyaknya anak yang putus sekolah. Bagi mereka, yang penting sudah bisa baca dan menulis, bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan. Pemikiran ini apabila berlanjut dari generasi ke generasi, apa yang akan terjadi dengan anak-anak yang putus sekolah ini? Yang tergambar yaitu generasi Indonesia mendatang adalah generasi dengan pendidikan formal yang rendah, sulit bersaing dengan lainnya dalam dunia kerja sehingga hanya dapat bekerja sebagai tenaga kerja yang berupah murah. Yang lebih menakutkan yaitu pola berpikir anak Indonesia yang tidak berkembang, tidak dapat melihat langkah ke depan dan terkukung dalam pemikiran dirinya sendiri. Artinya akan tercetak anak-anak generasi mendatang yang apatis, tidak kreatif, tidak mandiri, penakut, cengeng, egois dan lain-lain. Maukah generasi kita mendatang seperti itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar